15 Desember 2009

Bosan dengan Kemewahan? Berliburlah ke Boti

Bagi masyarakat modern di kota-kota besar di belahan dunia manapun, yang merasa bosan dengan kehidupan yang serba mewah, berkemas dan berliburlah ke Boti dan nikmati keramahan masyarakat suku Boti yang masih hidup serba alamiah. Dentingan gong yang ditabuh para musisi Boti, termasuk sang Ratu, mengiringi tarian yang menurut cerita dipersembahkan untuk menyambut kedatangan para satria dari medan perang sudah siap menyambut kedatangan setiap tamu yang datang ke Desa Boti. Desa Boti adalah sebuah desa terpencil yang terletak di tengah pegunungan Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Perjalanan menuju Boti dapat ditempuh dalam waktu sekitar empat jam dari Kupang, ibu kota Provinsi NTT, atau dua jam dari So’e, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jalannya berliku-liku, naik turun bukit kapur. Hanya setengah perjalanan saja, kita bisa nikmati jalanan beraspal yang sudah berlubang-lubang. Selebihnya, jalanan berbatu terjal dan jurang dalam di sisi kiri dan kanan. Walaupun jalan berbukit dan terjal, perjalanan ke Boti tidak membosankan karena sepanjang jalan menuju Boti, kita disuguhi pemandangan dan panorama alam yang kering dan tandus. Sulit dibayangkan pada zaman dahulu, bahwa kawasan pegunungan itu dijadikan sebagai medan perang. Satu hal yang harus diingat adalah kendaraan yang akan digunakan ke lokasi harus bertenaga besar dan mampu melewati tanjakan curam perbukitan kapur. Jika transportasi umum menjadi pilihan perjalanan, maka ambillah bus jurusan Kupang-Soe dengan ongkos sekitar Rp 20.000 dan lanjutkan dengan ojek motor ke arah Desa Boti dengan ongkos sekitar Rp 50.000. Bahkan, jika ingin lebih nyaman dalam perjalanan, maka para tamu harus menyewa mobil dari Kupang dengan terlebih dahulu bertanya kepada sopir karena tidak semua sopir berpengalaman melewati daerah itu. Selain itu, mobil harus dalam kondisi prima. Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah jangan lupa membawa sirih dan pinang untuk memperlancar komunikasi dengan komunitas yang hanya mengenal bahasa Dawan itu. Desa Boti merupakan desa terakhir di Pulau Timor yang didiami komunitas suku Boti yang masih patuh mempertahankan adat dan tata cara kehidupan warisan para leluhur. Bersahaja Kehidupan di desa ini jauh berbeda dengan daerah lain di belahan Pulau Timor. Agama apa pun tidak pernah masuk ke daerah ini karena setiap warga yang melanggar dan masuk pada ajaran agama tertentu akan dikucilkan. Komunitas Boti sangat bersahaja. Mereka hanya mengenakan pakaian yang mereka tenun dari benang katun yang mereka pintal sendiri. Untuk makan dan minum sehari-hari, mereka masih menggunakan tempurung kelapa sebagai pengganti piring, sendok, dan gelas. Adapun tempat penyimpanan makanan, semuanya terbuat dari anyaman daun lontar. Penduduk Boti berjumlah 77 kepala keluarga atau 350 jiwa, sebagian tinggal di sekitar istana dan sebagian lagi tinggal di perkampungan sekitar istana. Komunitas ini memeluk kepercayaan yang disebut dengan Halaika. Pemeluk Halaika dilarang untuk berpindah kepercayaan. Warga luar Boti yang menikah dengan warga Boti diharuskan memeluk Halaika. Bila warga suku Boti memutuskan berpindah kepercayaan, maka dia harus keluar dari Boti, seperti yang dialami oleh putra sulung sang Raja sendiri. Keunikan lain adalah semua laki-laki yang berumur 15 tahun akan diminta untuk menentukan pilihan, apakah keluar dari komunitas Suku Boti atau tidak. Bagi kaum laki-laki yang memilih untuk tetap menjadi bagian dari Suku Boti tidak dibolehkan untuk memangkas rambut. Untuk membedakan mana laki-laki yang sudah berkeluarga dan mana yang belum, hal itu terletak pada bentuk konde. Konde atas bagi laki-laki yang sudah menikah dan konde bawah bagi mereka yang belum menikah. Raja Boti Namah Benu mengatakan, mereka adalah para ksatria yang menjaga Pulau Timor. "Rambut panjang itu untuk menjaga Pulau Timor," katanya tanpa memberikan penjelasan lebih rinci makna dari rambut panjang. Perkampungan Boti ini memang terasa teduh dengan rimbunnya daun-daun lontar, pohon kelapa, dan pisang. Suasana kampung terasa damai. Suku Boti adalah keturunan Atoni Metu, suku asli Pulau Timor. Keunikan Boti yang sering disebut "Indonesian Amish" ini merupakan kekayaan sejarah dan budaya Indonesia yang masih dilestarikan. Keunikan di Boti, menurut pemandu wisata Yohanes Benesu, telah menarik puluhan peneliti dari luar negeri untuk datang ke desa itu. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam buku tamu yang ada di istana itu, sangat jarang tertulis nama wisatawan domestik, tetapi kebanyakan wisatawan asing dari berbagai belahan dunia. Tidak ada warung Di desa tidak ada rumah makan, apalagi supermarket, tetapi tidak perlu dicemaskan saat jam makan tiba karena keluarga Usif (raja) Namah Benu akan menyuguhkan hidangan yang sangat istimewa. Nasi dari padi di ladang sendiri, telur dadar dari ayam kampung di belakang rumah, sayur labu hasil memetik di halaman, dan teh hangat dari racikan sendiri, yang airnya beraroma asap kayu bakar. Bahkan, minyak kelapa untuk menggoreng pun dibuat sendiri sehingga meninggalkan rasa gurih yang kuat. Tidak ada bahan masakan diambil dari luar desa. Begitu alami, sehat, dan ramah lingkungan. Dalam tata cara adat Boti, mereka harus mendahulukan tamu saat makan. Apabila tamu belum makan, maka tuan rumah tidak diperkenankan makan terlebih dulu. Ini merupakan sebuah penghormatan yang sangat tinggi. Jika para tamu memiliki waktu luang untuk bermalam di Boti, maka Raja Boti juga sudah siapkan rumah berdinding dan beratap daun lontar tanpa penerangan listrik. Selamat Berlibur !

06 Desember 2009

Seandainya Pulau Rote ada di dekat Bali

Kapal feri cepat lepas jangkar dari Pelabuhan Tenau Kupang(Nusa Tenggara Timur, Indonesia) pukul 09.00 Wita. Namun baru sekitar 45 menit berlayar, di sekitar perairan Pulau Semau, kapal diguncang pusaran arus kuat yang berputar-putar seperti puting beliung. Meskipun Pukuafu sering membuat penumpang kapal feri menahan napas, bagi mereka yang suka berpetualang, diguncang pusaran arus laut menjadi tantangan nan mengasyikan. Apalagi setelah lepas guncangan pusaran Pukuafu, mereka segera disuguhi pesona pantai Pulau Semau yang teramat elok. Pantai Semau merupakan pantai berkarang terjal di bagian utara dan selatan. Terdapat pula atol, pulau karang yang berlatar hutan bakau yang menghijau di bagian timur Rote. Pelayaran lebih santai ketika menyusuri Pantai Baru di mana terdapat pelabuhan penyeberangan, namun kapal feri cepat tidak berlabuh di Pantai Baru. Setelah satu setengah jam berlayar menembus arus Pukuafu yang ganas, lalu menyusuri pulau-pulau indah di wilayah paling selatan Indonesia itu, kapal feri akan merapat di Dermaga Ba’a, ibukota Kabupaten Rote Ndao. Sepanjang pantai Ba’a, hutan bakau terbentang bagaikan sabuk hijau yang memanjang, menutupi pulau bertanah kapur itu. Di bagian tertentu, sabuk hijau itu berselang-seling dengan pantai berpasir putih dan bukit-bukit kecil menyerupai pulau mini yang menjorok ke laut. Atol-atol berserakan di sana-sini. Atol-atol itu, seperti nyaris terputus dihantam gelombang. Hantaman ombak membuat atol-atol menjadi seperti payung, tampak cantik, apalagi ketika ombak-ombak itu membentuk buih putih di sekitarnya. Di bagian kiri Dermaga Ba’a, ada pantai yang mendangkal karena proses sedimentasi yang terjadi selama ratusan tahun. Pantai itu ditumbuhi anakan bakau. Sementara di bagian kanan, tampak Kota Ba’a dengan kawasan pertokoan yang membelakangi laut. Nun jauh di sana tampak Batu Termanu, pantai sekaligus bukit kecil yang membentuk tanjung yang kabarnya menyimpan misteri tentang kekuatan Pulau Rote. Dari Batu Termanu Pulau Rote terlihat sangat memesona. Di sisi kiri bukit Termanu dengan pantai berpasir coklat, ada penginapan cukup mewah. Dari sisi ini, pelancong bisa menyaksikan matahari tenggelam utuh tanpa penghalang hingga ke kaki langit barat. Selain Dalam Batu Terman, di tepian Rote Ndao juga ada pantai tersohor hingga ke mancanegara; Nembrala. Nembrala disebut-sebut sebagai Kuta-nya Pulau Rote, yang memiliki hamparan pasir putih sejauh mata memandang, ke timur maupun ke barat, bahkan di perkampungan yang ditumbuhi nyiur, pasir putih terus menghampar. Pengunjung pasti akan dibuat berdecak kagum. Sepanjang pantai kini juga telah terbangun hotel dan restoran, yang kebanyakan di didatangi wisatawan mancanegara dan hanya sedikit wisatawan domestik. Semakin ke timur, pesona pantai semakin menggoda. Bo’a namanya, pantai tempat para peselancar dunia biasa mengikuti lomba tingkat internasional. Hanya sekitar dua tiga mil dari Pantai Bo’a, tampak Pulau Ndana, pulau yang semuanya berpasir tetapi hijau, tempat di mana satu peleton pasukan Marinir TNI Angkatan Laut mengawal bangsa dari arah selatan. Selain pasir putih yang menggoda, di Pantai Bo’a juga ada atol. Di bukit inipun sudah ada orang "bule" membangun penginapan di tengah hutan dan jika tertarik, bisa menyeberang ke Pulau Ndana, di sana ada banyak rusa Timor yang dilindungi, sekaligus menjadi markas TNI AL mengawal bangsa. Pengunjung juga bisa melanjutkan petualangan ke Oeseli, yang jaraknya hanya sekitar tiga kilometer dari Bo’a. Di sepanjang jalan menuju Oeseli itu, dijumpai banyak bukit karang yang ditumbuhi pohon kerdil, sehingga tampak seperti taman bonsai, hingga akhirnya menjumpai pantai Oeseli yang memiliki sebuah gerbang besar dari bukit batu cadas. Bukit batu cadas itu, membentuk sebuah gerbang besar untuk mengintip wilayah selatan. Di seberang selatan Oeseli tampak Pulau Ndana yang segar menghijau. Pulau Ndana, adalah pulau paling selatan Indonesia, jaraknya hanya 70 mil dari gugusan Pulau Pasir, teritori Australia. Di Oeseli, hutan batu karang yang berjejer di sepanjang pantai, kabarnya menjadi tempat kaum muda Rote menghabiskan akhir pekan atau mengisi masa liburan. Di Rote banyak sekali tempat indah, sayang tempat-tempat ini jauh dari Bali. Pemandangan indah, tak hanya di Ba’a, Batu Termanu, Nembrala, Pantai Bo’a dan Oeseli, tetapi masih banyak tempat lain, baik di pantai selatan maupun utara. Jika Rote ini letaknya di dekat Bali, pasti turis asing akan saling berebut. Selamat Berlibur!